| 0 comments ]

Menjadi PNS alias pegawai negeri sipil adalah impian banyak orang, tidak terkecuali buat mereka yang tinggal disebuah kota besar sebagai pusat kekuasaan maupun mereka-mereka yang ditempatkan di dusun terpencil. Menjadi seorang pns sama dengan mendapatkan harapan untuk hidup lebih layak, lebih baik dan lebih beradab sepanjang masa alias life time guarantee.
Namun ada satu hal yang perlu diingat baik-baik oleh para pns bahwa mereka diangkat oleh negara sebagai abdi masyarakat dan adi rakyat dimana pekerjaan mereka yang paling substansial adalah melayani masyarakat tanpa memandang ras, suku, agama, kelompok dan partai mana rakyat itu berasal dan berdomisili.
Di sebuah negara demokrasi, pns harusnya menjadi pilot dan ujung tombak bagi proses sosialisasi demokrasi, apalagi di negara seperti indonesia dimana demokrasi masih menjadi term yang hanya indah tertulis di dalam kop undang-undang dan hukum sementara pelaksanaannya masih tidak karuan dan seharusnya pns menjadi lampu bagi masyarakat kita yang masih awam tentang pelaksanaan demokrasi yang diamanatkan oleh undang-undang dasar negara.
Namun kenyataannya sangat berbalik seratus delapan puluh derajat dengan situasi yang terjadi di kabupaten bima akhir-akhir ini, dimana pns diibarat sapi yang telah dicocok idung dan mengikuti apa sahaja yang diinginkan oleh tuannya. Pns telah menjadi bagian dari alat sebuah partai politik untuk mempertahankan kekuatan mayoritasnya di kabupaten yang gundul dan panas ini. pns tidak hanya menjadi invisible powernya para penguasa saat ini tapi telah menjadi antek-antek penguasa yang sangat progressive untuk menjaring masa dalam memenangkan pemilu yang akan datang dan lebih gilanya lagi, mereka jauh lebih agressive daripada para caleg yang sedang berkompetisi dalam memenangkan pemilu tersebut.
Masyarakat bima tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi terhadap netralitas pns dalam pemilu 2009 ini, karena mereka (pns) sudah menjadi alat sebuah partai politik dan harapan masyarakat bima untuk mengangkat pemimpin yang adil, yang bersih dan berwibawa dalam pemilihan legislatif dan executive tahun depan akan sulit untuk dicapai. Sederet pertanyaan akan timbul dalam pikiran setiap orang bima yang pernah membaca dan belajar tentang demokrasi, apakah demokrasi benar-benar ada di bima? ataukan demokrasi hanya sampul dari realitas yang penuh dengan penghambaan yang berlebihan terhadap aristokrasi? ?
Harapan yang paling besar saat ini masih tertumpu pada mahasiswa yang begitu teguh dan cermat dalam melihat dan menganalisa perkembangan dibima, terutama dalam pelaksanaan pemerintahan yang sedang terjadi saat ini. Sepertinya ada semacam invisible doktrin yang berlaku dan sedang ditanam dihati masyarakat bima saat ini, bahwa apabila para raja dan turunannya berkuasa, semua perintah dan larangannya lebih utama dari undang-undang yang berlaku dalam negara.
Saya berharap tulisan ini dibaca oleh para pns dan terutama sekali yang bertugas dilingkungan kabupaten bima, dan insyaallah saya bersedia untuk mengadakan diskusi baik face to face maupun melalui email.

La Sali mangari weru
po box 164, providenciales, tci
british west indies.

0 comments

Post a Comment